Setiap Anak adalah Anugerah

Catatan kecil ini sengaja saya abadikan di blog kecil ini sebagai catatan pribadi yang suatu hari mungkin akan jadi 'reminder' bahwa "Every Child is Special", saya ingin mengartikannya bahwa "Setiap Anak adalah Anugerah".

Awalnya saya merasa disentil oleh film India yang rilis tahun 2007 silam. Judulnya "Taare Zameen Par" (Like Stars on Earth). Film ini mengisahkan seorang anak berumur 8 tahun, Ishaan Awasthi. Dia menjadi troublemaker, bagi orang tua dan juga sekolahnya. Dia selalu mendapat nilai merah di kelasnya. Hukuman dari guru pun menjadi langganannya setiap hari. Dia menjadi olokan kawan-kawannya di kelas. Sampai suatu ketika dia pun bolos dari sekolah karena tak membawa kertas PR yang ditandatangani orang tua dan berjalan-jalan sendirian di kota. Dia begitu menikmati jalan-jalan tersebut. Bolosnya pun berlanjut, ia merayu abang pertamanya untuk membuatkan surat izin tidak masuk. Surat izin ini akhirnya kedapatan oleh ayahnya suatu ketika. Ayahnya menjadi murka untuk kesekian kalinya setelah sebelumnya dibuat murka setelah dia berkelahi dan memecahkan pot bunga tetangga.

Ketika tengah tahun di kelas 3, ayah dan ibunya dipanggil ke sekolah. Intinya sekolah menyampaikan bahwa tahun depan mereka tidak akan mau menerima anaknya Ishaan apabila tidak ada perubahan dengan prestasi anaknya. Ayah dan ibunya merasa tak dapat lagi menangani anaknya Ishaan dan akhirnya memutuskan mengirim Ishaan ke sekolah asrama di tengah tahun tersebut dengan bantuan paman dari ayahnya yang menjadi wakil kepala sekolah di sekolah asrama tersebut.

Esok harinya, Ishaan langsung diantar oleh keluarganya ke sekolah asrama tersebut. Di sekolah ini, Ishaan menjadi tertekan dan kehilangan kosentrasi dalam belajar, apalagi di sekolah ini penerapan disiplin menjadi yang utama. Beberapa kali dia menerima hukuman.

Akhirnya, titik terang kehidupan Ihsaan mulai terlihat ketika seorang guru kesenian (Ram Shankar Nikumbh) yang awalnya guru pengganti melihat keadaan Ihsaan. Pak Nikumbh-lah yang kemudian berjuang keras membangkitkan lagi semangat Ihsaan setelah menemukan bahwa Ihsaan mengalami dyslexia yang juga pernah dialaminya semasa kecil. Perjuangan sang guru membuahkan hasil. Ihsaan akhirnya mulai bisa membaca dan menulis bahkan dia mendapat juara melukis. Dan lukisannya menjadi sampul buku tahunan sekolah asrama tempat dia belajar. Teman-temannya, para guru dan pastinya orang tuanya begitu bangga kepada Ihsaan.

Cerita yang luar biasa menyentuh terutama buat saya sebagai orang tua baru. Banyak pelajaran berharga yang akan menjadi rujukan bagi orang tua tentang bagaimana menghadapi anak-anak kita yang merupakan anugerah terindah dari Tuhan.

Ada sebuah cerita menarik yang saya juga catat dari penuturan sang guru Ram Shankar Nikumbh dalam film tersebut.

Albert Einstein, pria yang menghebohkan dunia dengan teori relativitasnya juga awalnya mempunyai kesulitan membaca dan menulis. Dia tidak bisa ingat kalau setelah huruf x adalah y. Kata-kata adalah musuhnya, jika ia melihat huruf, maka huruf-huruf itu menari-nari. Namun kemudian, dia mendapatkan penghargaan Nobel pada tahun 1921 di bidang Fisika.

Leonardo da Vinci, dia yang membuat sketsa Helikopter pada abad ke 15, 400 tahun sebelum pesawat pertama kali diterbangkan. Leonardo da Vinci juga memiliki kesulitan dalam membaca dan menulis. Dia menulis terbalik, persis seperti tulisan di mobil ambulance, bisa dibaca jelas dengan menggunakan cermin.

Thomas Alva Edison, penemu lampu. Dia juga tidak bisa membaca dan menulis dengan benar.

Abhishek Bachchan, semasa kecilnya, dia memiliki kesulitan dalam membaca dan menulis. Sekarang dia terkenal.

Dan masih ada lagi. Pablo Picasso, pelukis terkenal. Dia tidak pernah mengerti angka 7. Dia bilang, itu hidung paman saya yang terbalik.

Siapa bapak mickey mouse? Walt Disney. Bermasalah dengan huruf, dia menuangkan hidupnya ke dalam kartun.

Neil Diamond, penyanyi populer. Dia meluapkan rasa malunya dalam lagu.

Agatha Christie, penulis buku misteri terkenal. Bayangkan seorang penulis yang tidak bisa baca dan tulis sewaktu kecilnya.
 
 
Di akhir ceritanya sang guru mengatakan,

Lalu, kenapa aku menceritakan semua ini kepada kalian? Untuk menunjukkan bahwa ada permata seperti itu diantara kita. Yang mengubah dunia karena mereka bisa melihat dunia dengan cara yang berbeda. Pemikiran mereka unik dan tidak setiap orang bisa mengerti mereka. Mereka menentang. Sekarang mereka muncul sebagai pemenang dan dunia dibuat terkejut.

Surga Sebiji Debu

Ucapan seorang Ustadz waktu pengajian di kantor seolah membangunkan saya dari 'tidur' yang begitu nikmat di dunia ini.

Perkataan beliau saya simpulkan seperti ini, jika saja 1/3 dari hari (8 jam sehari) kita habiskan untuk tidur. Maka andai umur kita 60 tahun maka 20 tahun telah kita habiskan buat tidur saja. Belum lagi kata beliau, ditambah tertidur ketika mendengar khutbah jumat buat bapak-bapak, tidur siang dan tidur-tidur tambahan lainnya.

Lantas, saya coba-coba mengkalkulasi. Kalau 60 tahun dikurang 20 tahun jadi 40 tahun. Ada 40 tahun yang bisa dimaksimalkan untuk meraih surga. Di dalam islam dikurang lagi umur sebelum baligh, karena kewajiban (tangggung jawab) agama dimulai setelah baligh. Umur baligh anggap saja 15 tahun. Jika dikurangkan lagi 40 tahun sisa jadi 25 tahun.

Angka 25 tahun akan menjadi semakin kecil ketika dikurangkan lagi dengan masa-masa lalai dan malas kita, lupa shalat karena kesibukan kerja, meninggalkan puasa karena katanya gak kuat dan penyakit lalai dan malas sejenisnya.

Kita punya waktu yang begitu pendek sementara kita punya target setelah kehidupan yang begitu tinggi. Andai waktu yang begitu singkat ini dibuat untuk terus berleha-leha. Maka kita akan kelabakan ketika waktu kita telah habis sementara tidak ada amalan kebanggaan yang bisa kita hadapkan di depan Allah Yang Maha Kuasa. Meski dikatakan bahwa yang memasukkan orang ke surga bukan amalannya semata, namun kasih sayang Allah.

Andai besok di akhirat ditanyakan ke sahabat-sahabat Nabi Muhammad SAW, "Apa amal yang telah kau buat sehingga Aku (Allah) pantas memasukkanmu ke surga?"

Sebagian sahabat Nabi mungkin akan menjawab, "Kami telah korbankan jiwa kami demi tegaknya agama-Mu di muka bumi, Duhai Rabbi. Raga kami pun terpotong-potong di medan perang. Istri-istri kami pun telah menjadi janda, anak-anak kami menjadi yatim. Harta kami pun tak tersisa diinfakkan di jalan-Mu. Kami lalui malam-malam kami dengan shalat dan membaca al Quran hingga shubuh datang. Tak terlewat satu detik pun dalam kehidupan kami kecuali kami habiskan untuk mentaati-Mu."

Tak terbayang Andai ditimbang amal kita dengan para sahabat Nabi dan salafusshalih terdahulu. Sebiji debu pun tak sampai andai dibandingkan. Dan dengan sebiji debu ini kita berharap surga Allah yang begitu indah dan penuh kenikmatan.

Tulisan ini tak bermaksud membuat kita jadi pesimis. Tapi, hendak membangunkan saya dan kita semua agar sungguh-sungguh dalam mentaati-Nya. Selalu mendongak ke atas di dalam beramal, melihat bagaimana kesungguhan orang-orang terdahulu dalam meraih ridha Allah agar kita terpacu untuk meniru-niru mereka. Bukan malah melihat ke bawah yang membuat kita mudah berpuas diri. Wallahu a'lam.

------------------------------------------------
Gambar pada post ini saya ambil dari Google

Maaf

Kisah luar biasa ini tak sengaja terbaca disela-sela waktu kerja, kisah luar biasa tentang kasih sayang dan kelembutan hati untuk memaafkan. Kisah dengan judul yang sama dengan post ini saya salin dari Majalah Rumah Lentera (Edisi 75 Tahun 8 Maret 2013) terbitan Rumah Zakat Indonesia. Semoga kisah ini menjadi ibrah yang kita pun dapat amalkan.

Suatu hari Umar kedatangan kakak beradik yang melaporkan seorang pemuda karena telah membunuh ayah mereka. Mereka meminta qishash sebagai bentuk keadilan atas perbuatan sang pemuda. Pemuda itu hanya tertunduk penuh sesal mengakui perbuatannya di depan Khalifah Umar. Tapi kedua kakak beradik tersebut bersikeras untuk melanjutkan qishash. Umar yang tumbuh simpati pada terdakwa yang dinilainya amanah, jujur dan bertanggung jawab kehabisan akal meyakinkan penggugat.

"Wahai Amirul Mukminin, tegakkanlah hukum Allah, laksanakan qishash atasku, namun izinkan aku menunaikan semua amanah yang tertanggung dulu," sang pemuda berkata dengan tegar dan sopan. Dia berjanji akan kembali tiga hari lagi. Namun kedua kakak beradik dan juga Umar tak bisa mengijinkan pemuda itu pergi. Harus ada jaminan yang jelas atasnya.

"Jadikan aku penjaminnya Amirul Mukminin!" Tiba-tiba sebuah suara berat dan berwibawa menyeruak dari arah hadirin. Salman al Farisi.

"Salman?" hardik Umar. "Demi Allah engkau belum mengenalnya! Jangan main-main dengan urusan ini! Cabut kesediaanmu!"

"Pengenalanku padanya tak beda dengan pengenalanmu, ya Umar. Aku percaya padanya sebagaimana engkau mempercayainya," ujar Salman. Dengan berat hati, Umar melepas pemuda itu dan menerima penjaminan yang dilakukan oleh Salman.

Tiga hari berlalu sudah. Detik-detik menjelang eksekusi begitu menegangkan. Pemuda itu belum muncul. Umar gelisah. Penggugat mendecak kecewa. Semua hadirin sangat mengkhawatirkan Salman. Mentari nyaris terbenam. Salman dengan tenang dan tawakal melangkah ke tempat qishash. Isak pilu tertahan. Tetapi sesosok bayang berlari terengah dalam temaram, terseok terjerembab lalu bangkit dan nyaris merangkak. Pemuda itu dengan tubuh berpeluh dan napas putus=putus ambruk ke pangkuan Umar.

"Maafkan aku hampir terlambat!" ujarnya. "Urusan kaumku makan waktu. Kupacu tungganganku tanpa henti hingga ia sekarat di gurun dan terpaksa kutinggalkan, lalu kuberlari."

"Demi Allah, bukanlah engkau bisa lari dari hukuman ini? Mengapa susah payah kembali?" tanya Umar.

"Supaya jangan sampai ada yang mengatakan di kalangan muslim tak ada lagi ksatria yang tepat janji," ujar terdakwa sambil tersenyum.

"Lalu kau, Salman?" tanya Umar berkaca-kaca. "Mengapa kau mau menjadi penjamin seseorang yang tak kau kenal sama sekali?"

"Agar jangan sampai dikatakan di kalangan muslimin tak ada lagi saling percaya dan menanggung beban saudara," jawab Salman teguh.

"Allahu akbar! Allah dan kaum muslimin jadi saksi bahwa kami memaafkannya," pekik sang penggugat sambil memeluk terdakwa.

"Mengapa kalian berbuat seperti itu?" tanya Umar haru.

"Agar jangan ada yang merasa di kalangan kaum muslimin tak ada lagi kemaafan dan kasih sayang," sahut keduanya masih terisak.

------------------------------------------------
Gambar pada post ini adalah koleksi pribadi



Menggapai Surga dengan Segelas Kopi

Sebuah kisah luar biasa yang saya dengar dari sumber yang insya Allah terpercaya. Namun, saya tak begitu ingat detail tempat, waktu dan lainnya. Maklumlah saya kadang kurang baik ingatan soal detail sesuatu.

Kejadiannya ini terjadi di luar Indonesia, sebuah negara dimana penduduk yang memeluk islam masih minoritas. Awal kisah, sang suami mengenal islam dan akhirnya memutuskan meninggalkan agama lamanya dan kembali ke pangkuan islam. Namun, tidak sama halnya dengan sang istri ia tetap teguh dengan agama lamanya.

Meskipun mereka berbeda agama, mereka tetap rukun dan tidak bercerai. Di dalam hati sang suami dia berharap satu saat nanti istrinya akan mendapatkan hidayah untuk mengikuti jalan yang diambil suaminya. Suaminya tetap bersikap seperti biasa, tidak ada kekerasan yang dipertujukkan agar istrinya mengikuti dia.

Satu hari, kalau kata anak zaman sekarang gak ada angin gak ada hujan tiba-tiba istrinya mengungkapkan keinginannya untuk memeluk islam. Tentu saja hal itu sangat membahagiakan sang suami. Dan akhirnya hiduplah mereka dengan penuh kedamaian dalam rangkulan islam. Loh, segitu mudahkah? Iya... Mendapatkan hidayah (surga) kadang semudah menyajikan kopi untuk suami di pagi hari. Mudahnya? Hehehe... Semua itu kalau Allah maunya mudah ya pasti mudah dan tidak susah.

Jadi rupanya sang suami kerap mengundang ulama maupun dai yang datang ke wilayahnya untuk main ke rumahnya ya sekedar bercengkerama, makan-makan atau ngopi-ngopi. Tiap ada yang datang pasti sang suami meminta istrinya yang menyiapkan makanan maupun minuman. Sebelum tamu pulang beliau titip doa kepada ulama/dai yang datang untuk ikut mendoakan kebaikan untuk istrinya. Jadilah, Allah bukakan pintu hidayah untuk istrinya sebab pelayanan istrinya yang baik untuk suami dan tamunya.

Pernah juga saya dengar dalam satu majelis di sebuah masjid seorang ulama mengatakan, wanita itu masuk surga mudah sekali, cukup dua langkah saja. Langkah pertama, taat kepada Allah dan Rasulullah. Langkah kedua, taat kepada suami (selama suami tidak mengajak berkhianat kepada Allah dan Rasulullah tentunya).

Sebuah kisah yang masyhur yang sering kita dengar, bagaimana wujud ketaatan wanita-wanita terdahulu kepada suami. Seorang wanita dipesan oleh suami untuk tidak pergi keluar rumah sebelum sang suami kembali dari medan perang. Wanita tersebut gigih menjaga amanat suaminya bahkan sekalipun dikabarkan orang tuanya meninggal dunia dan wanita tersebut diminta untuk datang melihat orang tuanya untuk terakhir kalinya namun sang wanita tetap tak meninggalkan rumah. Wanita-wanita amanat seperti ini pasti akan mendapatkan ridha suami dan inilah yang akan menjadi kunci baginya untuk masuk ke surga.

”Siapa saja wanita yang meninggal, sedangkan suaminya ridha kepadanya, maka dia masuk surga.” (HR Tirmidzi)

Semoga Allah juga menjadikan wanita-wanita di rumah kita baik ibu, istri dan anak keturunan kita menjadi wanita-wanita surga. Percayalah, ketika wanita dengan senang hati misalnya menyediakan sarapan atau sekedar segelas kopi sebelum suami memulai aktivitas (bekerja) dan itu membuat hati suami senang dan kesenangan suaminya di bawah ke tempat kerja serta menyebar ke tiap orang di tempat kerja dan kesenangan dari tiap orang di tempat kerja sampai ke rumah-rumah mereka. Bayangkan berapa banyak kebaikan yang dapat tercipta dari segelas kopi, yang gak suka kopi jangan protes ya :)

Segelas kopi, segaris senyum atau sebuah kecupan untuk suami bisa jadi merupakan cara mudah untuk mewarnai dunia dan menggapai surga. Insya Allah mudahkan?

------------------------------------------------
Gambar pada post ini saya ambil dari sini